Menyusun sejarah kopi Indonesia bisa diibaratkan seperti menyusun permainan puzzle. Siapa tokoh-tokoh yang membawa kopi ke Indonesia? Mengapa kopi menjadi komoditas yang sangat dicari, sampai nyawa manusia pun tak ragu dikorbankan?
Bagaimana kita bermain menyusun rangkaian cerita dan catatan sejarah yang ada menjadi sebuah cerita utuh adalah pengalaman yang menarik.
Bali sendiri merupakan daerah yang vital untuk menghasilkan kopi berkualitas sejak abad ke-18. Jenis kopi arabika menjadi jenis kopi yang paling banyak ditanam dan diproduksi. Varietas ini pun berbeda dengan varietas yang ada sekarang dan masih dekat sekali secara genetik dengan Typica asal Ethiopia, ibu dari semua varietas arabika di dunia.
Jadi yuk kita tarik garis waktu yang menunjukan catatan sejarah dari mana kopi Indonesia dulu berasal.
Kisah kopi di Indonesia berawal dari kedatangan kongsi dagang Belanda, VOC (Vereenigde OostIndische Compagnie) dan hak istimewanya monopoli perdagangan di Indonesia sekitar tahun 1602. Pada tahun 1696, Walikota Amsterdam Nicholas Witsen memerintahkan komandan pasukan Belanda di Malabar India, Adrian Van Ommen, untuk membawa bibit kopi arabika ke Nusantara, dan ditanam di Kedawung, Batavia, di lahan milik Gubernur Jenderal VOC Williem van Outshoorn. Sayangnya, bibit pertama ini gagal tumbuh karena banjir. Tiga tahun kemudian, Henricus Zwaardecroon membawa kembali benih coffea Arabica yang ditanam di sekitar bantaran sungai Ciliwung seperti Meester Cornelis, Kampung Melayu, Bidaracina, Palmerah dan Sudimara.
Percobaan penanaman kopi yang kedua berbuah dan berhasil dilakukan. Para petinggi VOC di Hindia Belanda mengirim kopi tersebut untuk contoh ke Heeren Zeventien, direktur VOC di Amsterdam, pada 1706. De Heeren Zeventien lalu menyarankan agar pembudidayaan kopi menjadi perhatian Gubernur-Jenderal J van Hoorn. Van Hoorn merespon dengan membagikan tanaman itu kepada kepala-kepala pribumi di pesisir Batavia hingga Cirebon. Tak berhasil baik, penanaman bergeser ke daerah yang lebih tinggi di selatan. Hasilnya memuaskan.
Setelah pengembangan kopi di sebagian besar pulau Jawa berhasil pada tahun 1750, Belanda mulai mengembangkan perkebunan kopi arabika di Sumatera, Bali, Sulawesi, dan Kepulauan Timor. Tercatat dalam sumber sejarah, pulau Bali cukup besar menghasilkan kopi untuk dikirim dan dikemas di Jawa. Buku laporan tersebut berjudul Verslag over de kofficcultuur in Amerika, Azie en Afrika karya K.F. van Delden Laerne, dan mencatatkan bahwa pada tahun 1825 pulau Jawa mengambil 10.377 pikul kopi Arabika yang berasal dari pulau Bali. Saat itu perusahaan dagang Belanda (VOC) mulai aktif melakukan perdagangan di kepulauan nusantara.
Catatan sejarah kedua menyebutkan bahwa pada tahun 1853 kopi Bali bersama dengan kopi dari Sumatra dan Sulawesi dikirim ke Jawa. Jumlah kopi yang dikirim ke Jawa sebanyak 69.974 pikul dan 6.000 pikul. Untuk detail dan berapa banyak kopi yang berasal dari Bali pada saat itu tidak dijelaskan dalam catatan laporan. Kopi arabika dari Bali semuanya dihasilkan oleh perkebunan milik swasta.
Jika dilihat dari garis waktu, peristiwa dari catatan ini beriringan dengan diberlakukannya sistem tanam paksa yang diciptakan Johannes van den Bosch (1780-1844). Pada saat itu rakyat diwajibkan menanam komoditi ekspor milik pemerintah kolonial Belanda, termasuk kopi pada seperlima luas tanah yang digarap, atau bekerja selama 66 hari di perkebunan-perkebunan milik pemerintah.
Beberapa kali hasil kopi dari Bali mengalami penurunan jumlah produksi hasil panen dan penyusutan lahan. Hal tersebut diantaranya disebabkan oleh terjadinya penyakit karat daun (Hemileia Vastatrix) pada tahun 1878. Dampak penyakit ini cukup hebat untuk menggagalkan produksi besar di perkebunan-perkebunan swasta di Bali. Penyakit yang sama pun melanda kebun kopi di pulau Jawa.
Maju pada rentang waktu abad ke 19, penyebab lainya penurunan produktivitas perkebunan kopi di pulau Bali diakibatkan dari meletusnya Gunung Batur dan Gunung Agung yang memang berada di dekat kawasan perkebunan kopi Kintamani.
Pertama, Gunung Batur meletus pada tahun 1917, tahun 1948, dan tahun 1977. Sedangkan Gunung Agung meletus pada tahun 1963. Hal ini memberi dampak pada kondisi lahan kopi arabika Kintamani yang semakin menyempit. Kondisi-kondisi tersebut mengakibatkan produksi kopi semakin menurun hingga keberadaan reputasi kopi arabika Bali hampir menghilang di pasaran, terutama pasar internasional.
Kembali ke periode waktu ketika berakhirnya pemerintahan kolonial Belanda dan berganti ke pendudukan Jepang. Kedatangan Jepang pada tahun 1942, membuat pengurangan lahan kopi karena ada kebijakan pemerintah Jepang untuk menyiapkan bahan pangan untuk kebutuhan perang. Para pemilik kebun dipaksa untuk mengkonversi tanaman kopi untuk tanaman pangan, misalnya beras, jagung dan ketela. Akibatnya panen kopi pada tahun 1950 hanya seperdelapan dari musim panen sebelum perang.
Industri kopi mulai memasuki era baru ketika pemerintah Indonesia mulai menasionalisasi perusahaan-perusahaan yang dibawah pemerintahan Belanda dan asing menjadi Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) pada tahun 1957-1958. PPN inilah kemudian menjadi cikal bakal dari PT Perkebunan Nusantara (PTPN) Persero. Saat ini PTPN XII dan PTPN IX merupakan PTPN yang mengelola komoditas kopi. Untuk di Bali sendiri, mayoritas perkebunan kopi merupakan perkebunan yang dikelola oleh masyarakat dan swasta.
Sejarah yang telah ditulis menjadi gambaran bagi kita tahu dan mengenal kopi di Bali. Perjalanan panjang tentang bagaimana kopi ada dan berkembang menjadi komoditi unggulan di Indonesia, khususnya di Bali, masih harus terus ditelusuri. Banyak puzzle cerita yang masih perlu dilengkapi, dan penting untuk kita tahu kisah sejarah ini sebagai pelengkap kenikmatan kopi sehari-hari.